Hati Soleh Lebih Dicintai Allah daripada Masjid Megah " Nasihat Nabi Isa AS "

 


Dalam kitab al-Zuhd, Imam Ahmad bin Hanbal mencatat sebuah riwayat tentang Nabi Isa dan muridnya ketika melihat rumah ibadah yang bagus. Berikut riwayatnya:

 حدثنا عبد الله حدثنا أبي حدثنا أبو المغيرة حدثنا صفوان قال: حدثني شريح بن عبيد عن يزيد بن ميسرة وهو ابن حليس قال: قال الحواريون: يا مسيح الله أنظرْ إلي بيت الله ما أحسنه. قال: آمين آمين بحقّ أقول لكم لا يترك الله من هذا المسجد حجرا قائما علي حجر إلا أهلكه بذنوب أهله أن الله لا يصنع بالذهب ولا بالفضة ولا بهذه الحجارة شيئا إن أحبّ إلي الله منها القلوب الصالحة بها يعمر الله الأرض وبها يخرب الأرض إذا كانت علي غير ذلك 

Terjemah bebas: Menceritakan kepada kami Abdullah, Abu al-Mughirah bercerita, Shafwan bercerita, dia berkata: Menceritakan kepadaku Suraij bin ‘Ubaid, dari Yazid bin Maisarah, dia adalah Ibnu Khalis. Dia berkata: Para hawari (murid dan sahabat Nabi Isa) berkata: “Ya masîhallah (Wahai al-Masih), lihatlah rumah Allah itu, sungguh indah sekali.” (Nabi Isa) menjawab: “Amin. Amin. (Tapi) sungguh, akan kukatakan kepada kalian, bahwa Allah tidak akan membiarkan satu batu pun di masjid ini berdiri kokoh, kecuali Dia akan menghancurkannya sebab dosa-dosa penduduknya. Sesungguhnya, Allah tidak menjadikan sesuatu (yang berharga) dengan emas, perak, dan bebatuan (di masjid) ini. Sungguh, yang lebih dicintai Allah dari itu semua adalah hati-hati yang saleh (baik), dengannya Allah akan membangun bumi, dan tanpanya bumi akan dibiarkan hancur.” (Imam Ahmad bin Hanbal, al-Zuhd, Kairo: Dar al-Rayyan al-Turats, 1992, h. 119) 

 Hati adalah bagian dari manusia yang mempengaruhi pergerakan jasad. Manusia yang berhati lembut, atau manusia yang berhati kasar, keduanya akan tertampak dalam gerak-gerik jasadnya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda (HR Imam Muslim): 

 ألا وإن في الجسد مضغة إذا صلحت صلح الجسد كله، وإذا فسدت فسد الجسد كله ألا وهي القلب 

“Ingatlah, sesungguhnya di dalam jasad terdapat segumpal daging yang jika dia baik maka baik pula seluruh jasad, dan jika dia rusak maka rusak pula seluruh jasad. Ingat-ingatlah, (bahwa) segumpal daging itu adalah hati” (Imam al-Nawawi, al-Minhâj Syarh Shahîh Muslim bin al-Hajâj, Kairo: al-Mathba’ah al-Mishriyyah bi al-Azhar, tt, juz 11, h. 28). 

Dengan kata lain, hati laiknya raja yang memerintah jasad sebagai bawahannya. Jika dia baik dan bersih, maka tindak laku yang ditampilkan akan baik dan bersih pula. Jika dia rusak dan kotor, maka tingkah gerak yang ditampakkan akan rusak dan kotor juga. Imam Ibnu Qayyim mengatakan: “al-qalb li hadzihil ah’dlâ’i kal malikil mutasharrif fîl junûdi” (hati bagi anggota badan ini seperti raja yang mengatur pasukannya) (Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, Ighâtsah al-Lahfân min Mashâyid al-Syaithân, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2011, h. 9).

 Nabi Isa, dalam riwayat di atas, menginginkan murid-muridnya memahami apa yang lebih dicintai Allah. Dibandingkan emas, perak, dan bebatuan yang digunakan untuk membangun rumah-Nya, Allah lebih mencintai hati yang saleh dan baik. Karena dari situlah, bumi akan dimakmurkan, dan tanpa itu pula, bumi akan hancur dengan sendirinya.  

Penjelasan sederhananya begini, semegah-megahnya bangunan akan hancur dengan sendirinya jika tidak dirawat, meski tanpa sengaja untuk dirusak. Sama halnya dengan tempat ibadah, jika penduduknya sudah enggan beribadah dan tidak lagi menyembah Tuhan, arti penting untuk menjaganya akan hilang dari hati mereka, dan perlahan-lahan, tempat ibadah itu akan rusak dengan sendirinya. Namun, jika hati yang saleh terpelihara, arti penting dari tempat ibadah akan tetap terjaga. Tanpa harus diperintah dan disuruh, hati akan menggerakkan mereka untuk terus menjaga dan merawatnya. Karena itu, hati kita harus disadarkan pada fungsinya. Kita harus melatih dan mendidiknya secara terus-menerus. Salah satunya dengan dzikir.

 Allah subhanahu wa ta’ala berfirman (QS Al-Ra’d: 28):

 أَلَا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ

 “Ingatlah, hanya dengan (berdzikir) mengingat Allah hati menjadi tenteram.” Ketenteraman hati sangat dibutuhkan untuk menyadarkan hati pada fungsinya. Jika hati selalu marah, dengki, dan gelisah, kemampuan hati dalam menyadari fungsinya akan melemah. Tapi, setelah hati tenteram dan tenang, asupan-asupan kesadaran akan lebih mudah tertanam. Sebagaimana kegiatan belajar-mengajar yang membutuhkan suasana nyaman dan tenang, agar informasi pengetahuan yang disampaikan dapat tercerna dengan baik. Jika keadaan hati sang guru atau murid sedang marah, informasi pengetahuan yang diberikan akan tersia-siakan begitu saja. Dalam tradisi para sufi, penjernihan hati (tashfiyatul qulûb) adalah pijakan utama, dan mereka memeperjuangkan itu sampai akhir hayatnya. Karena hati tidak statis. Dia selalu naik-turun, pasang-surut, dan tidak tetap. Sekali waktu dia begitu halus, di lain waktu dia begitu kasar. Karena itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengajari kita sebuah doa penetap hati. 

Sabdanya: 

يا مقلب القلوب ثبت قلبي على دينك 

“Wahai Tuhan yang membolak-balikkan hati, tetapkanlah hatiku pada agama-Mu.” (Imam Ibnu Abi Syaibah, Kitâb al-Îmân, Beirut: al-Maktabah al-Islamiy, 1983, h. 28). Baca juga: Kisah-kisah Nabi Isa Sebagai penutup, penting bagi kita untuk merenungi jawaban seorang sufi saat ditanya, mana yang lebih baik, mengangkat tangan ketika berdoa atau membiarkannya. Sufi itu tidak menjawab dengan mengatakan, “ini” lebih baik dari “itu”, atau sebaliknya. Dia menjawabnya dengan cara berbeda.

 وقيل لصوفي: أرَفعُ اليدين في الصلاة أقضل أم إرسالهما؟ فقال: رَفع القلب إلي الله تعالي أنفع منهما 

“Ditanyakan pada seorang sufi: “Apakah mengangkat kedua tangan dalam doa itu lebih utama, atau membiarkannya (yang lebih utama)?” Sang sufi menjawab: “Mengangkat hati kepada Allah ta’ala lebih bermanfaat dari keduanya” (Imam Abu Hayyan al-Tauhidi, al-Bashâ’ir wa al-Dzakhâ’ir, Beirut: Dar Shadir, juz 1, h. 198). Pertanyaannya, sudahkah kita berusaha? Wallahu a’lam bish-shawwab... Muhammad Afiq Zahara, alumni Pondok Pesantren Darussa’adah, Bulus, Kritig, Petanahan, Kebumen.

Sumber: https://islam.nu.or.id/

Pada satu kesempatan sowan ke salah seorang kiai (yang kebetulan dulu mengajar saya), beliau menyampaikan sebuah pesan dengan berikut, ADVERTISEMENT "من لم يعرف الأصول حرم عن الوصول" Artinya: "Siapa yang melupakan asalnya, maka sulit untuk mencapai kesuksesan." Melalui pesan itu, sang kiai ingin menyampaikan, bahwa seorang santri (murid), di mana pun dan kapan pun, jangan sampai melupakan guru yang dulu pernah mengajar dan membimbingnya. Hubungan guru dan murid (kiai dan santri), tidak selesai begitu saja setelah proses belajar rampung. Tapi, sampai kapan pun, hubungan ruhani akan terus terkoneksi. Kendati jarak memisah begitu jauh. Jangan sampai, guru yang dulu pernah mengajarnya, hanya karena alasan sudah selesai dari interaksi belajar, dilupakan begitu saja. Dalam literatur pesantren, keberkahan menjadi taruhannya. Jika murid sudah tidak lagi ingat terhadap sang guru, keberkahan bisa berkurang, atau bahkan "tidak mberkahi" (tidak berkah hidupnya). ADVERTISEMENT Ibarat kacang yang lupa pada kulitnya. Padahal, kacang akan terbentuk menjadi kacang dalam sebuah kulit yang membungkusnya sampai menjadi betul-betul kacang yang bisa dinikmati banyak orang. Tapi, kacangnya yang bisa dimakan, sementara kulit dibuang dan menjadi sampah. Begitu pun seorang murid. Bisa memperoleh ilmu dan suatu pencapaian hidup, tidak lepas dari peran seorang guru yang dulu membekalinya ilmu dan doa setiap saat. Dalam tradisi pesantren, salah satu upaya untuk menjaga dan memperkuat hubungan kiai dan santri adalah dengan sowan. Sowan merupakan tradisi bersilaturahmi kepada kiai. Meski seorang santri sudah tidak lagi di pesantren, ia akan tetap menjaga dan memperkuat hubungan dengan kiainya dengan tradisi sowan tersebut. Mengenai hubungan guru dengan seorang murid, Imam Al-Ghazali menjelaskan, يَحْتَاجُ المُرِيدُ إِلَى شَيْخٍ وَأُسْتَاذٍ يَقْتَدِي بِهِ لَا مَحَالَةَ لِيَهْدِيهِ إِلَى سَوَاءِ السَّبِيلِ، فَإِنَّ سَبِيلَ الدِّينِ غَامِضٌ، وَسُبُلَ الشَّيْطَانِ كَثِيرَةٌ ظَاهِرَةٌ. فَمَنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ شَيْخٌ يَهْدِيهِ، قَادَهُ الشَّيْطَانُ إِلَى ADVERTISEMENT طُرُقِهِ لَا مَحَالَةَ. فَمَنْ سَلَكَ سُبُلَ البَوَادِي المُهْلِكَةِ بِغَيْرِ خَفِيرٍ فَقَدْ خَاطَرَ بِنَفْسِهِ وَأَهْلَكَهَا، وَيَكُونُ المُسْتَقِلُّ بِنَفْسِهِ كَالشَّجَرَةِ التي تَنْبُتُ بِنَفْسِهَا فَإِنَّهَا تَجِفُّ عَلَى القُرْبِ، وَإِنْ بَقِيَتْ مُدَّةً وَأَوْرَقَتْ لَمْ تُثْمِرْ، فَمُعْتَصَمُ المُرِيدِ شَيْخُهُ، فَلْيَتَمَسَّكْ بِهِ ADVERTISEMENT Artinya: "Seorang murid harus memiliki sosok syaikh dan guru yang diikuti dan menuntunnya ke jalan yang banar. Jalan agama begitu terjal, sementara begitu banyak jalan-jalan setan. Barang siapa yang tidak memiliki guru, maka setan akan menyesatkan jalannya. Seperti orang yang melewati sebuah pedalaman berbahaya tanpa pemandu, maka akan sangat mengancam keselamatannya. Orang yang tanpa guru, laksana pohon yang tumbuh tanpa diurus. Dalam waktu dekat akan mati. Andai pun pohon itu hidup dalam waktu yang lama, tak akan berbuah. Penjaga murid adalah gurunya. Berpeganglah padanya." (lihat Ihya 'Ulumiddin, juz 1, hal 98) Dari pesan Al-Ghazali di atas, setidaknya kita bisa mengambil dua poin penting terkait hubungan seorang guru dan murid. Pertama, guru adalah petunjuk jalan bagi murid. Ibarat orang yang sedang menjelajahi hutan rimba yang baru saja dijejakinya. Tanpa petunjuk, sangat mungkin tersesat. Bahkan, nyawa bisa menjadi taruhannya. Syekh Ahmad Ali al-Rifa'i (w. 1182 M), salah seorang ulama Syafi'iyyah pembentuk tarekat Ar-Rifa'iyyah, berpesan, مَنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ شَيْخٌ فَشَيْخُهُ الشَّيْطَانُ Artinya: "Barang siapa yang tidak mempunyai guru, maka gurunya adalah setan." (lihat Al-Kasyfu 'an Haqiqoh as-Shufiyyah, hal 321) Kedua, guru merupakan orang yang merawat si murid. Tanpa perawatan guru melalui ilmu yang diajarkan serta upaya-upaya zahir dan batin yang diberikannya, tidak mungkin seorang murid mampu meraih apa yang hendak dicapainya. Al-Ghazali menganalogikannya bagaikan pohon yang tumbuh tanpa perawatan. Pasti akan mati kekeringan. Jika pun hidup, mustahil berbuah. Poin yang kedua ini senada dengan pesan Syekh Abu 'Ali ad-Daqqaq (w. 412 H), salah seorang ulama sufi. Beliau mengatakan, "Pohon yang tumbuh secara liar (tumbuh sendiri dan tidak ada yang merawatnya), jika pun hidup, tidak akan berbuah. Andaikan berbuah, sebagaimana pohon yang tumbuh di pedalaman dan gunung, rasanya tidak seperti buah di kebun”. (lihat Al-Mausu'ah al-Muyassarah, hal 1772) Syekh Az-Zarnuji dalam kitab Ta'lim al-Muta'allim mengisahkan tentang putra seorang Harun al-Rasyid (khalifah kelima dari kekhalifahan Abbasiyyah yang memerintah antara tahun 786 hingga 803). Suatu ketika, Harun al-Rasyid menyuruh putranya untuk berguru kepada Imam Al-Ashmu'i (w. 831 M). Pada satu kesempatan, Sang Khalifah melihat putranya sedang membantu mengucurkan air dari wadah untuk wudhu gurunya. Melihat kejadian itu, Sang Khalifah menegur Imam Al-Ashmu'i. "Saya meminta anda untuk mendidik putra saya, mengapa engkau tidak menyuruhnya untuk mengucurkan dengan tangannya saja (Bukan melalui wadah)?" Bayangkan. Seorang Harun al-Rasyid saja, tetap menyuruh putranya untuk menghormati sang guru dengan maksimal. Bahkan, tidak cukup dengan membantu mengucurkan air untuk wudhu gurunya dengan wadah. Tapi harus dengan tangan putranya langsung. Demikianlah, betapa penting kedudukan guru bagi seorang murid. Guru adalah orang yang berilmu. Menghormati guru, berarti menghormati ilmu itu sendiri. Salah satu bentuk penghormatan kepada guru adalah dengan tetap memuliakannya. Kapan pun dan di mana pun. Muhamad Abror, Pengasuh Madrasah Baca Kitab, alumnus Pondok Pesantren KHAS Kempek Cirebon Tags: Hikmah Sowan Kiai Bagikan: Artikel Terkait Imam Nawawi, Ulama Besar yang Hidup Membujang Hari Raya Waisak, PBNU Sampaikan Pesan Kebangsaan Mbah Sholeh Darat Jelaskan Dampak Berhaji tanpa Ilmu Manasik Innalillahi, KH Shodiq Suhaimi Sirampog Brebes Tutup Usia NU Semarang Usulkan KH Sholeh Darat Dianugerahi Gelar Pahlawan Nasional Kiai Said Ingatkan Cita-cita NU: Ciptakan Persaudaraan Kemanusiaan Terpopuler Rekomendasi 1 Khutbah Jumat: Empat Tujuan Diciptakannya Lisan Jumat 2 Juli 2021 2 Sejarah Kurban: Teladan Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail Jumat 2 Juli 2021 3 Kajian Hadits Surga di Bawah Telapak Kaki Ibu Kamis 1 Juli 2021 4 Sejarah Perkembangan Ilmu Fiqih Selasa 29 Juni 2021 5 Perempuan Bepergian Tanpa Mahram dalam Kajian Hadits Sabtu 3 Juli 2021 Topik Kumpulan Khutbah Jumat tentang Haji Hikayat Bani Israil dari Masa ke Masa Khutbah Jumat Bulan Syawal atau Pasca-Ramadhan Penjelasan dan Ragam Tafsir Mimpi dalam Islam Kumpulan Artikel Amalan Bulan Syawal Wawancara Risalah Redaksi Potret Pendidikan Indonesia di Daerah Terluar, Terdepan, dan Tertinggal Senin 3 Mei 2021 Perjuangan Satgas NU Melawan Laju Pandemi Covid-19 Rabu 21 April 2021 Langkah PB PMII Wujudkan Cita-cita Terdepan dalam Kemajuan Sabtu 17 April 2021 Sambut Indonesia Emas, Dosen PMII Harus Selalu Mengembangkan Diri Ahad 4 April 2021 Tiga Capaian NU Menjelang Usia Satu Abad Jumat 26 Februari 2021 Terkini Habib Syech Jelaskan Keistimewaan dan Kenikmatan Umat Nabi Muhammad Senin 5 Juli 2021 Dialog ala Gus Dur Perlu Dicontoh untuk Selesaikan Masalah Papua Senin 5 Juli 2021 Pemerintah Harus Konsisten Jamin Demokrasi dan Otonomi Khusus di Papua Senin 5 Juli 2021 NU Metro Lampung Terapkan SISNU Jateng untuk Sensus Nahdliyin Senin 5 Juli 2021 Ansor Pahandut Palangka Raya Rutinan Baca Kitab Mbah Hasyim Senin 5 Juli 2021 Seni Budaya Sastra dan Nasib Kreatornya Ahad 27 Juni 2021 Peradaban Baru yang Menggentarkan Senin 21 Juni 2021 Sastr Sejawa

Sumber: https://islam.nu.or.id/post/read/129077/hikmah-sowan-kiai?_ga=2.167953699.368580340.1625455610-199802065.1625455610
===
Yuk, install NU Online Super App versi Android (s.id/nuonline) dan versi iOS (s.id/nuonline_ios). Akses dengan mudah fitur Al-Qur'an, Yasin & Tahlil, Jadwal Shalat, Kompas Kiblat, Wirid, Ziarah, Ensiklopedia NU, Maulid, Khutbah, Doa, dan lain-lain.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Buku tamu